Di Indonesia, aliran kebatinan cukup
marak berkembang menjadi beragam aliran kepercayaan. Di antaranya
memiliki kemiripan dengan Bathiniyah yang pernah berkembang di dunia
Islam dahulu. Mereka memiliki sejumlah pandangan yang sama. Misalnya
ibadah cukup dilakukan dengan niat batin saja. Mereka juga sama-sama mengedepankan
ruh dan jiwa tanpa memperdulikan praktik lahir. Tulisan ringkas ini
akan menelisik akidah Bathiniyah sejak masa awal kemunculannya dengan
aliran kebatinan yang berkembang di dunia saat ini.
Asal-Usul dan Perkembangan
Para
ulama’ telah mejelaskan Bathinyah sebagai aliran yang terinfiltrasi
oleh pemikiran menyimpang. Aliran Bathiniyah adalah golongan yang mendakwahkan
bahwa dzahirnya kata dalam al-Qur’an memiliki makna bathin yang
tersembunyi di dalamnya sebagaimana kulit yang di dalamnya memiliki
esensi[2].
Imam al-Ghazali menerangkan ciri golongan aliran ini, yaitu tidak
mengakui arti literal al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi teks al-Qur’an
tersebut ditakwil batin untuk mendapatkan makna yang sesuai dengan
pemahaman mereka. Menurutnya, aliran Bathinyah memiliki wajah Rafidhah,
namun batinnya berupa ajaran kekufuran yang diramu dari berbagai aliran
pemikiran filsafat Yunani, Majusi, dan Yahudi[3]. Imam al-Ghazali memiliki perhatian terhadap aliran ini. Ia menulis satu kitab khusus membedah kesesatan Bathiniyah, yaitu Fadhaih al-Bathiniyah. Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh dalam al-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthofa menjelaskan
bahwa Bathinyah adalah mereka berkeyakinan syariah dan sebagaian besar
berita yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul tidak sesuai dengan makna
batinnya[4].
Kalangan
ahli kalam dan sejarawan Muslim berbeda pendapat tentang asal-muasal
aliran Bathiniyah.Ada yang berpendapat bahwa Bathinyah berasal dari
agama Majusi, ada pula yang mengatakan bersumber dari agama saba’iyah[5].Namun
yang jelas, praktik keagamaan Bathiniyah dan aliran-aliran lainnya
semisalnya bersumber dari pemikiran Yunani kuno yang mengintilfrasi ke
dalam berbagai golongan Bathiniyah[6].
Ahmad
al-Khatib dalam riset ilmiahnya menguraikan kaitan aliran Syiah dan
Bathiniyah. Menurutnya, ketika membicarakan aliran Bathiniyah maka kita
tidak bisa melepaskan dari kemunculan Syiah. Menegaskan apa yang telah
digambarkan oleh Imam al-Ghazali, al-Khatib berpendapat bahwa fenomena
tasyayyu’[7]
berada satu garis dengan Bathiniyah. Bahwasannya unsur-unsur ajaran
Bathiniyah telah masuk ke dalam Syiah yang bersumber dari filsafat
Plato, Yahudi, Kristen dan Hindu.
Ajaran-ajaran
yang menonjol yang terindikasi berasal dari pemikiran asing tersebut di
antaranya berupa ajaran ta’wil bathin. Bahwasannya setiap huruf dalam
kitab suci memiliki rahasia-rahasia ghaib. Ajaran ini mulanya berasal
dari Yahudi kelompok penganut Kabbalah[8].
Penganut Kabbalah memiliki pandangan, pengetahuan itu bukan diperoleh
dengan membaca teks lahir. Tapi ilmu itu tersembunyi di dalam teks.
Segala hal yang nampak di dunia ini bukanlah esensi, yang paling penting
itu sisi batin atau esoterik.
Kabbalah
adalah ajaran mistik Yahudi yang umurnya sudah ribuan tahun lalu dengan
doktrin okultisme rahasia (sihir rahasia). Yahudi mempraktikkannya
terhadap kitab Taurat. Takwil ini bercampur dengan filsafat Yunani,
neo-Platonisme, dan kepercayaan orang-orang Persi. Bentuk ajaran ini
pernah dipraktikkan pada masyarakat Yunani dan Iskandariah dahulu, yang
konon disebut ‘Ahl al-‘Irfan’[9].
Kelompok ini meyakini bahwa ilmu batin mereka disebut Irfan. Hatinya
tersinari oleh ‘wahyu’ tanpa perantara apapun. Mereka mengkampanyekan
agama universal[10].
Dalam keyakinan kaum Kabbalis Yahudi, bangsa Isrel tidak dapat
dipisahkan dari Zat Tuhan, tetapi menjadi bagian dalam ritme
Ketuhanan.Pada zaman Nabi Musa kaum Kabbalis menentang dakwah tauhid.
Raja Fir’aun memanfaatkan mereka dengan ilmu sihirnya untuk menentang
Nabi Musa[11].
Kaum Kabbalis dan ‘Ahl al-‘Irfan’ sangat ekstrim mempercayai
pengetahuan hakiki itu berasal dari aspek batin. Antar-aspek lahir dan
batin tidak dipandang secara proporsional.
Dalam
dunia Islam, ajaran kebatinan tersebut pernah berkembang di dalam
sekte-sekte Syiah. Pondasi ajarannya dibangun oleh Abdullah bin Saba’,
seorang Yahudi yang mengaku masuk Islam pada zaman Kekhalifahan Ustman
bin Affan. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, bin Saba’ mengkampanyekan
dakwah ghuluw (ekstrim), yakni ajaran penyatuan ruh Ali dengan
Tuhan. Bahwasannya esensi Ali terdapat dalam ruh-nya yang bergabung
dengan esensi Tuhan[12]. Para pengikutnya memiliki keyakinan reinkarnasi roh manusia, menakwilkan Syari’ah dengan takwil batin dan lain sebagainya.
Seorang
bernama Abu Hasyim bin Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyah
menyebarkan ajaran ini sepeninggal Muhammad bin al-Hanafiyah.
Ajaran-ajaran yang didakwahkan antara lain; meyakini adanya ilmu-ilmu sirri (batin), setiap yang dzahir pasti memiliki sisi batin yang esensial, setiap wahyu yang turun pasti ada takwilnya.
Selain
Abu Hasyim, terdapat nama Abu al-Khattab al-Asadi yang menjadi guru
besar para penganut sekte Bathiniyah. Abu al-Khattab adalah guru dari
al-Ja’fi, yaitu orang yang berada di balik Muhammad bin Nusair, pendiri
sekte Nushairiyah. Al-Khattab juga guru dari Isma’il bin Ja’far. Maimun
bin Daishan al-Qaddah, salah satu penyebar Bathiniyah, juga teman akrab
dari al-Khattab.
Pengikut Abu al-Khattab disebut Khattabiyah. Khattabiyah mengajarkan akidah ghuluw.
Mereka mengajarkan bahwa Allah Swt memiliki lima bentuk dzahir, yaitu
berbentuk Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan
Husein. Tuhan menampakkan bentuknya sebagai manusia dengan tujuan agar
umat manusia bisa berinteraksi langsung. Jadi, dalam konteks pemikiran
Bathiniyah al-Khattab ini, dzahirnya adalah Nabi Muhammad Saw, Ali bin
Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husein, namun batinnya adalah Allah[13].
Bathinyah
sebagai sekte yang matang dibawa oleh Maimun bin Daishan al-Qaddah
-mantan budak Ja’far al-Shadiq-, Ma’mun bin Hamdan al-Qirmith dan
Muhammad bin al-Husein[14].Maimun
al-Qaddah menyebarkan paham sesat tidak mempercayai Tuhan, mengingkari
kenabian, dan perkara-perkara ghaib. Ia memasukkan ajaran kebatinan
tersebut ke dalam aliran Syiah. Menurut al-Baghdadi, ia adalah pemimpin
pertama Bathiniyah. Dalam catatan sejarah Bathiniyah, Maimun dan
Muhammad al-Husein merancang gerakannya saat di penjara Irak[15].
Maimun sengaja membidik aliran Syiah sebagai kendaraan untuk memasukkan
ajaran-ajarannya. Sebab dalam pikirannya, aliran Syiah memiliki
kecenderungan memuja Ali dan Ahlul Bait secara ekstrim. Apalagi pondasi
ajarannya telah dibangun oleh Abdullah bin Saba’, tokoh yang juga
disebut-sebut cenderung kepada aliran kebatinan Yahudi.
Maimun
al-Qaddah dan Muhammad al-Husein menyebarkan ke negeri Maghribi
(sekarang Maroko), Iran, dan Irak. Maimun mengaku sebagai keturunan Ali
bin Abi Thalib, hal ini untuk mempermudah kaum Syiah mengikutinya.
Bahkan ia kemudian mengaku anak Ja’far al-Shadiq. Maimun dan kawan-kawan
akhirnya berhasil menyusupkan ideologinya ke dalam aliran Syiah
Isma’iliyah, Qaramithah dan Nushairiyah. Maka, sekte-sekte Syiah
tersebut menjadi aliran Bathiniyah. Di tangan al-Qaddah Bathiniyah
memakai kendaran sekte Isma’iliyah. Bahkan salah satu julukan terkenal (laqab) untuk aliran Syiah Islamiliyah adalah Bathiniyah[16].
Setelah
itu aliran Bathiniyah menyebar luas. Di daerah Bahrain dibawa oleh Abu
Sa’id al-Jannaniy. Seorang lelaki bernama Abu Hatim memasukkan aliran
ini ke wilayah al-Dailam. Di Nishapur (wilayah timur Persia) Bathiniyah
dibawa oleh al-Sya’rani. Bahkan ia memiliki sejumlah kader. Di antaranya
al-Husein bin Ali al-Marwaziy, Muhammad Ahmad al-Nasafi yang menulis
buku “al-Mahshul”, Abu Ya’kub yang menulis “Ta’wil al-Syara’I” dan
“Kasyfu al-Asrar”[17].
Dengan demikian, konspirasi Bathiniyah menyusupkan ajarannya ke
sejumlah negeri menyebar luas. Tidak lain ini merupakan rancangan matang
dari Maimun bin Daishan. Sejumlah sejarawan mengatakan bahwa
orang-orang yang membangun aliran Bathiniyah adalah memiliki darah
keturunan orang Majusi. Mereka sengaja menyusupkan doktrin majusi ke
dalam kaum Muslimin.
Selain hal tersebut, menurut al-Baghdadi dan al-Ghazali, Bathiniyah menyusup kepada penduduk Persi, orang-orang Syu’biyyun
(orang ajam yang bangga akan kedigdayaan rasnya dibanding ras Arab),
para ilmuan yang minus pengetahuan syari’ah, kelompok filsuf
paripatetik, dan kelompok pengagum duniawi secara berlebihan. Orang
Persi mudah disusupi Bathiniyah karena orang Persi pada waktu itu
memiliki dendam kepada Islam yang dibawa oleh orang Arab yang telah
menaklukkan negeri mereka. Adapun para filsuf dan ilmuan yang minus ilmu
syariah sebelumnya pengagum filsafat Plato dan Aristoteles.
Di
antara mereka meyakini bahwa syariat itu hanya dibuat-buat oleh
manusia. Ajaran mereka menyusup secara halus kepada kelompok-kelompok
tersebut. Makanya, terdapat di antaranya secara dzahir tidak nampak
sebagai pengikut Bathiniyah, namun ideologinya telah menancap ke dalam
pikirannya. Kelompok-kelompok ahli sihir dan perbintangan juga
terpengaruh oleh ajaran Bathiniyah. Bahkan, bentuk Bathiniyah yang
dibawa berupa wajah yang berbeda dengan pendahulu-pendahulu sebelumnya.
Akidah dan Doktrin Bathiniyah
Kepercayaan
kaum Bathiniyah secara umum dibentuk oleh sebuah cara berpikir bahwa
setiap yang dzahir memiliki aspek batin. Aspek batin merupakan esensi,
hakikat dan rupa yang asli. Mereka tidak terlalu menghiraukan aspek
dzahir. Dalam segala aspek, cara pandang (worldview) itu dipraktikkan. Sehingga dengan mudah menggugurkan syari’at (isqatu al-syari’ah). Epistemologi ini juga dianut kaum kebatinan di Jawa. Misalnya berpendapat bahwa yang penting shalat itu eling
(ingat pada Allah), tidak perlu melaksanakan syariat shalat dengan
syarat dan rukunnya. Karena -dalam keyakinannya- esensi shalat itu
adalah ingat (eling).
Pengguguran
terhadap syari’at ini mereka lakukan secara bertingkat. Bagi pemula
yang baru masuk aliran ini masih dibebani menjalani syari’at. Namun,
jika telah mencapai tingkat tertentu, maka mereka terbebas dari taklif
syariat. Tidak ada kewajiban beribadah kepada Allah Swt[18].
Mereka yang telah mencapati tingkatan tertentu adalah orang-orang
khusus yang telah memiliki pengetahuan batin yang luas. Kelompok ini
juga disebut Ibahiyyah, karena membolehkan larangan-larangan syara’ untuk dikerjakan.
Syekh Hasyim Asy’ari menyebut kelompok Ibahiyyah yang menggugurkan syariat ini adalah ahli bid’ah dan zindiq. Dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah ia menulis:
منهم
إباحيون يقولونإنالعبد إذا بلغ غاية المحبة، وصفا قلبه من الغفلة، واختار
الإيمان على الكفر والكفران، سقط عنه لأمر والنهي، ولا يدخله الله النار
بارتكاب الكبائر. وبعضهم يقول: أنه تسقط عنه العبادات الظاهرة، وتكون
عبادته التفكر وتحسين الأخلاق الباطنة. قال السيد محمد في شرح الإحياء:
وهذا كفر وزندقة وضلالة[19].
Syekh Hasyim menjelaskan bahwa kaum Ibahiyyun itu mengajarkan isqath syari’ah.
Mereka berkeyakinan bila seorang hamba itu telah mencapai puncak
mahabbah (cinta), hatinya tidak lalai (eling, bahasa jawa), maka
kewajiban syariatnya gugur. Mereka menggugurkan ibadah dzahir. Adapun
cara ibadah mereka cukup dengan tafakkur dan memperbaiki akhlak batin.
Kelompok
Bathiniyah dari Ibahiyyah juga membuat fitnah di kalangan sufi. Imam
al-Ghazali menyebut kelompok sufi yang terinfiltrasi ajaran asing itu
sebagai sufi jahil, yang sesungguhnya bukan tasawwuf. Syekh al-Junaid
al-Baghdadi memperingatkan kemunculan sufi jahil yang menggugurkan
kewajiban syariat. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul
(sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah
yang diwajibkan oleh Allah Swt itu lebih buruk dari orang yang mencuri
dan berzina[20].
Syekh
Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif syari’at. Tidak ada
perbedaan antara santri, Kyai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada
namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang
mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja
dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu
dipercaya. Orang yang mengenal Allah Swt wajib menjalankan seluruh amal
dzahir dan batin[21].
Syekh Hasyim tidak memisahkan antara ibadah lahir dan batin. Tidak
membuat dikotomi bahwa ibadah batin adalah untuk orang tertentu. Dalam
kamus tasawwuf, tidak ada kaidah ini. Kaidah tersebut hanya terdapat
pada orang Bathiniyah/Ibahiyah.
Para
ulama’ tasawwuf seperti imam al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Qadhi
Iyadh dan Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa dalam kondisi apapun dan
bagaimanapun kewajiban syariat tidak boleh digugurkan. Izzuddin
Abdussalam mengatakan:
فإذا
رأيت إنسانا يطير في الهواء ويمشي على الماء أويخبر بالمغيبات، ويخالف
الشرع بارتكاب المحرمات بغير سبب محلل، أو يترك الواجبات بغير سبب مجوّز،
فاعلم أنه شيطان نصبه الله فتنة للجهلة وليس ذلك ببعيد من الأسباب التي
وصفها الله للضلال[22].
Syekh
Izzudin mengingatkan kita agar tidak mudah tertipu oleh makar kaum
kebatinan sufi. Menurutnya kita jangan terburu kagum terhadap orang yang
bisa terbang, berjalan di atas air dan mengabarkan hal-hal ghaib. Jika
kita temui orang seperti itu, akan tetapi ia meninggalkan syariat maka
orang tersebut adalah setan yang menipu orang-orang bodoh.
Pendapat
Bathiniyah yang menggugurkan syariat seperti tersebut bermula dari
pandangan dualis yang memisahkan secara dikotomik antara ibadah dzahir
dan ibadah batin. Imam al-Ghazali mengecam keras pandangan dualis
seperti itu. dalam penjelasannya ia mengatakan, syariat itu adalah sisi
dzahir dan hakikat itu sisi batin. Namun, dua sisi itu tidak boleh
berseberangan atau dipisahkan. Sisi batinnya adalah kekhusyukan,
keikhlasan dan kesungguhan ibadah. Maka, untuk mencapai ibadah yang
berkualitas dan benar tidak boleh memisahkan keduanya. Orang yang
memisahkan antara keduanya dengan meninggalkan ibadah dzahir adalah
kafir[23].
Selain
itu kaum Bathiniyyah menafikan sifat-sifat Allah Swt. Logika yang
digunakan seperti logika ketuhanan Aristoteles, yaitu jika Allah Swt
adalah Dzat murni tanpa‘ardh (sifat materi), jika Dzat tunggal itu memilki banyak ‘ardh
maka Dzat-Nya akan berbilang. Padahal Tuhan itu Satu yang Mutlak tidak
dapat berbilang. Keberadaan sifat-sifatnya dikira akan mengartikan
berbilangnya Zat Tuhan. Mereka meyakini bahwa Allah itu ada, tapi
menafikan sifat wujud. Logikanya, jika Allah memiliki sifat wujud, maka Dia membutuhkan terhadap sesuatu, dan ini -menurut mereka- mustahil. Tuhan juga menurut pandangan mereka tidak bergerak (unmover). Karena pergerakan mengakibatkan berbilangnya wujud. Maka, mereka tidak akan mengatakan Huwa al-Qadir, Huwa al-‘Alim, dan
lain-lain. Logika ini sebenarnya cukup lemah. Keberadaan sifat-sifat
sesuatu tidak secara otomatis menjadikan sesuatu itu berbilang sesuai
dengan jumlah sifat.
Bathiniyah juga mengadopsi pemikiran Neo-Platonisme yang menolak teori penciptaan (mafhum al-khalq). Mereka menganut teori faidh (pancaran). Menurutnya, yang diciptakan Allah pertama kali adalah al-‘aql al-awwal.
Yang kemudian menjadi sebab wujud benda-benda lainnya di alam semesta.
Menurutnya, manusia tidak mungkin mengetahui esensi Dzat Allah. Manusia
hanya terbatas mengetahui akal pertama itu. Tidak ada penjelasan rinci
tentang konsep akal pertama. Yang ada adalah penjelasan bahwa akal
pertama itu adalah penggerak utama yang tidak bergerak, sebagai ciptaan
Tuhan yang pertama[24].
Terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, Bathiniyyah menerapkan framework dualisme teks
lahir dan teks batin. Mereka meyakini terdapat makna batin di balik
setiap ayat al-Qur’an. Memahami makna batin ayat al-Qur’an dilakukan
dengan cara takwil batin. Salah satu contoh ayat yang dita’wil adalah
Surat al-Hijr ayat 99: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (al-Yakin-ajal)”.
Dalam pandangan Bathiniyah, al-Yakin dalam ayat tersebut diartikan
bukan ajal sebagaimana dalam pandangan Islam. Akan tetapi al-Yakin
adalah mengetahui hal-hal yang batin dari setiap ayat al-Qur’an. Jika
seorang hamba telah mengetahuinya, maka kewajiban syariat menjadi gugur.
Karena cukup dengan al-Yakin tadi. Melalui ayat tersebut, kaum
Bathiniyah menggugurkan kewajiban shalat bagi orang ‘khusus’, dengan
alasan orang ‘khusus’ tersebut telah mencapati ‘maqam’ al-Yakin. Takwil
batin ini konon diadopsi oleh Bruce Spinoza, pemikir Yahudi yang
mempraktikkan ‘tafsir’ hermeneutika terhadap kitab Yahudi.
Konsep
takwil Bathiniyah tidak memiliki pondasi metodologis yang kokoh.
Pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah, ukuran apa yang dipakai
Bathiniyah untuk mempraktikkan takwil batin tersebut? Kaum Bathiniyah
meyakini bahwa para imam mereka memiliki maqam khusus untuk mentakwil.
Namun, metode apa yang digunakan imam belum jelas. Hanya terdapat
penjelasan bahwa hal tersebut melalui proses penalaran para imam. Jika
dikembalikan kepada epistemologi Bathiniyah bahwa setiap yang dzahir
memiliki makna batin, maka bukankah perkataan para imam itu juga dzahir?
Sehingga juga memiliki makna batin. Logika ini tidak memiliki ujung,
sebab teks al-Qur’an pun diucapkan secara dzahir. Berbeda dengan konsep
takwil para ulama tafsir di kalangan Ahlussunnah yang telah memiliki
metodologi. Bahwasannya mentakwilkan ayat al-Qur’an ada metodenya,
kaidah dan batasannya. Yakni tidak boleh keluar dari syariat, atau tidak
ada petunjuk qarinah di ayat-ayat lainnya. Makna batin tidak boleh jauh melampaui dzahir teks.
Aliran
Bathiniyah juga pada hal-hal tertentu juga menyuburkan paham
sinkritisme dan pluralisme. Sinkritisme adalah paham mencampur-adukkan
ajaran agama-agama. Sesungguhnya wujud dari Bathiniyah itu adalah bentuk
tren sinkritisme. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Bathiniyah ini
adalah produk ramuan ajaran-ajaran Neo-Platonisme, filsafat Aristoteles,
Majusi, Yahudi dan Islam. Sinkritisme berkembang di Negara India. Agama
Sikh merupakan hasil paduan antara Islam dan Hindu. Sikh di India juga
mengajarkan praktik keagaman kebatinan dan hal-hal yang berbau
mistisisme. Buya Hamka mengatakan, penganut kebatinan Indonesia
mencampuradukkan antara ajaran Islam, Hindu dan unsur ajaran cinta
Kristen[25].
Pengaruh
Bathiniyah dapat ditemukan dalam filsafat pluralis -perennialisme- oleh
Frithjof Schuon. Schuon adalah pengikut tarekat Alawiyah yang
mengkampanyekan paham pluralisme beraliran perennial. Perennialisme
memiliki cara pandang dualis antara hakikat lahir dan hakikat batin.
Segala realitas atau hakikat yang ada dalam wujud di alam ini termasuk
agama-agama dan Tuhan memiliki dua hakikat. Yaitu hakikat esoteric dan hakikat-hakita exoteric.
Esoteric adalah hakikat tunggal, abadi, asas, transenden dan esensi
segala sesuatu yang wujud. Disebut pula hakikat batin. Exoteric
merupakan ekspresi wujud dari esoteric, bersifat dzahir dan plural. Cara
pandang demikian digunakan dalam teori ketuhanan dan agama-agama. Dalam
pandangannya, Tuhan semua agama adalah sama, Dzatnya sama dan esensinya
juga tidak berbeda. Kesamaan Tuhan ini berada pada level esoteric.
Sementara pada level exoteric, nama Tuhan dan nama agama berbeda-beda.
Teori ini disebut dengan The Transcendent unity of religions (kesatuan transenden agama-agama)[26]. Teori ini juga dipopulerkan oleh Hossein Nasr, ilmuan asal Iran, dengan memberi nama al-Hikmah al-Khalidah.
Fremason dan Kebatinan
Pada
zaman kolonial Belanda, orang-orang Yahudi Belanda mengenalkan ajaran
teosofi atau Tarekat Mason Bebas yang mengajarkan kebatinan dan
sinkritisme. Th. Stevens merekam kegiatan kaum Tarekat Mason Bebas di
Indonesia dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962.
Teosofi adalah sayap gerakan Fremasonry yang berkegiatan dalam bidang
mistisisme. Di antara ajarannya adalah meditasi dengan dzikir batin
dengan cara melafalkan kata-kata khusus mengingat Pusat Tenaga Dalam.
Mereka tidak mempercayai Surga dan Neraka. Meyakini adanya kekuatan
pribadi yang dapat menimbulkan cahaya. Aliran teosofi juga sangat kuat
mempercayai inkarnasi (tanasukh ruh), sebagaimana Bathiniyah
klasik yang dibawa Maimun bin Daishan. Di antara kemiripannya juga
masalah ketuhanan. Masyarakat Teosofi meyakini, bahwa manusia, alam dan
Tuhan semula satu dan kembali kelak dalam kesatuannya[27]. Dalam kebatinan Jawa, ajaran Panteisme ini dinamakan manunggaling kawula.
Prof.
HM. Rasyidi mengkategorikan kebatinan di Jawa adalah bagian dari
theosofi. Dalam penjalan Rasyidi, theosofi memiliki isitilah-istilah
kunci yang cenderung kepada kebatinan, seperti ‘kehidupan batin’, Sang
Guru Batin’[28].
Aliran theosofi mengajarkan membina manusia menuju kesempurnaan. Jalan
itu ditempuh dengan cara praktik kebatinan dan okultisme.
Theosofi
Belanda menyusup ke dalam penganut kebatinan Jawa yang diikuti oleh
para priyayi Jawa. Upaya Belanda tersebut merupakan bagian dari politik
kolonialismenya untuk melemahkan barisan kaum agamawan Nusantara.
Seperti halnya aliran Bathiniyah klasik, theosofi yang menyusup ke
aliran kebatinan Jawa menyebarkan keyakinan esensi batini. Upaya itu
pernah dilakukan oleh Dirk van Hinloopen Libberton, orang Belanda yang
disebut-sebut Bapak Kebatinan oleh penganut theosofi Indonesia.
Libberton mengatakan bahwa agama adalah perkara batin, perkara hati,
bukan perkara lahir. Ia menegaskan bahwa syariah lahir bukanlah yang
esensi. Bahkan di sanalah, menurut dia, akan lahir bibit-bibit
kejahatan. Ia mempelajari buku Wirid Hidayat Jati, yang merupakan kitab kaum kebatinan Jawa yang mengajarkan manunggaling kawulo Gusti[29]. Sepak terjang kelompok thosofi di Indonesia ini dapat dibaca dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962.
Dalam buku ini diberitakan, banyak kalangan bangsawan Jawa bahkan
pahlawan Nasional yang tersangkut aliran theosofi Indonesia. Dalam buku
ini ditulis, beberapa elit keraton Jogjakarta telah direkrut kaum
theosofi Belanda, kemudian disekolahkan dan diangkat figurnya.[30]
Aliran
kebatinan di Indonesia umumnya mempengaruhi kaum awam yang tertarik
dengan hal-hal ghaib atau mistisisme. Jumlah aliran kebatinan di
Indonesia yang berjumlah lebih dari seratus secara umum menganut
dualisme lahir-batin dan menggugurkan syariat. Paham ini mudah masuk
kepada orang-orang Muslim yang menginginkan ibadah instan. Kebatinan
dipandang sebagai cara beragama yang mudah, apalagi ditambah dengan
kampanye bahwa ilmu kebatinan yang berkaitan dengan dunia ghaib dapat
mempermudah persoalan kehidupan masyarakat.
Pandangan Ulama’ terhadap Bathiniyah
Para
ulama’ telah sepakat tentang kesesatan Bathiniyah dengan berbagai
sebutan. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kaum Bathin telah keluar dari
Islam dikarenakan menggugurkan kewajiban syariat, meyakini alam ini
qadim, Allah tidak memiliki sifat.[31]
Al-Ghazali menyebut mereka berwajah Syiah. Abdul Qahir al-Baghdadi
menyebut mereka adalah kaum dahriyah zindiq (tidak mempercayai Tuhan),
meyakini keabadian alam dan menolak taklif syariat, tidak percaya nabi.
Ia mengatakan:
أنهم دهرية زنادقة يقولون بقدم العالم، وينكرون الرسل والشرائع كلها، لميلها إلى استباحة كل ما يميل إليه الطبع[32]
Syekh
Hasyim ‘Asyari menyebutnya sebagai golongan Ibahiyyah, yaitu golongan
yang menghalalkan kewajiban syariat. Syekh Ibn Taimiyah menilai
kekafiran Bathiniyah melampaui Yahudi dan Nasrani. Mereka menampakkan
wajah Tasyayyu’ dan cinta kepada Ahlul Bait. Hakikatnya mereka tidak
beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat dan hari akhir[33].
Epilog
Umumnya
aliran Bathiniyah, dengan beragam pecahan dan namanya, memiliki
framework akidah yang sama yakni dualime dzahir dan batin dalam melihat
segala realitas. Kepercayaan ini berpengaruh terhadap munculnya faham
sinkritisme, pluralisme, dan teori penafsiran teks yang keliru. Praktik
dan pengaruhnya kemudian beraneka jenis bentuknya, dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran asing. Meskipun benang merah antara kebatinan
Indonesia dengan Bathiniyah klasik belum ditemukan data pustakanya,
namun dari sisi ideologinya memiliki kesamaan. Selain kesamaan dalam
sejumlah ideologi, bathiniyah dan kebatinan lokal Indonesia dipengaruhi
oleh pemikiran mistik Yahudi. []
Catatan: Makalah disampaikan pada acara Majelis Ilmu dua Sabtuan InPAS di Masjid Unair Surabaya 6 Oktober 2012
[1] Penulis adalah alumni Pascasarjana ISID Gontor dan Peneliti InPAS Surabaya
[3] Ibid, hal. 22 dan hal. 43
[4] Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh, Al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa,(Beirut: Darul Fikr, 1998), hal. 283
[5] Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), hal. 284
[6] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami,(Amman: Maktabah al-Aqsha, 1986), hal. 20
[7] Ibid
[8]Kabbalah
berasal dari bahasa Ibrani yang artinya adat istiadat. Aliran ini
menjadi sumber sihir-sihir di Eropa. Ia pertama diajarkan oleh Samiri
yang mengajak bangsa Israel keluar dari Mesir untuk menyembah patung
anak sapi. Ajaran emanasinya menjadi kepercayaan kelompok kebatinan di
dunia. Lihat AD. El Marzdedeq, Jaringan Gelap Freemasonry, Sejarah dan Perkembangannya ke Indonesia,(Bandung: Syamil,2005), hal. 50 dan Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia,(Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2010), hal. 73
[9] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 21. Mahmud Qosim,Dirosat fi al-Falsafah al-Islamiyyah, hal. 245
[10] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 22
[11] Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia,(Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2010), hal. 72
[12] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 23
[13] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alam al-Islami, hal. 26
[14] Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), hal. 16
[15] Abu Hamid al-Ghazali, Fadha’ih al-Bathiniyyah, (Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, tanpa tahun), hal.11
[16] Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakar al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr,2002), hal. 154
[17] Abdul Qohir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, hal. 214
[18] Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Bahaya Aliran Kebatinan,(Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1432 H), hal. 96
[19] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jama’ah,(Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamiy, 1418 H), hal. 11
[20] Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386
[21] Hasyim ‘Asy’ari, Al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, (Kediri: Ma’had Lirboyo Kediri, tanpa tahun), hal.6 dan 14
[22] Izzuddin Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam,(Beirut: Dar al-Maarif) jilid II, hal. 194
[23] Tim Penulis Sidogiri, Bahaya Aliran Kebatinan, hal. 131
[24] Muhammad Abdul Karim bin Abu Bakar al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr,2002), hal. 155
[25] Hamka, Perkembangan Aliran Kebatinan di Indonesia,(Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974), hal. 94
[26] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis,(Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 114-115
[27] AD. EL. Marzdedeq, Jaringan Gelap Freemasonry, (Bandung: Syamil, 2005), hal.53
[28] HM. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967), hal. 42
[29] Artawijaya, Gerakan Theosofidi Indonesia, hal.250
[30] Th. Steven, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. xxiv
[31] Imam al-Ghazali, Fadha’ih Bathiniyyah, hal. 43
[32] Abdul Qohir al-Baghdadi,Al-Farqu baina al-Firaq, hal. 222
[33] Muhammad Ahmad al-Khatib, Al-Harakat al-Bathiniyah fi al-‘Alami al-Islami, hal. 423
0 komentar:
Posting Komentar